Kuta, Bali – Di balik hiruk-pikuk pariwisata dan keramaian wisatawan yang terus mengalir ke Kuta, Bali, gelombang protes mulai muncul dari para pekerja di garis depan industri ini. Ratusan pekerja hotel, restoran, pemandu wisata, dan staf transportasi pariwisata turun ke jalan pada awal Agustus 2025 untuk menuntut peningkatan kesejahteraan, perlindungan hak kerja, dan evaluasi ulang standar upah minimum sektor pariwisata.
Aksi yang digelar damai di depan Kantor Dinas Pariwisata Provinsi Bali itu menjadi sorotan nasional, karena mencerminkan ketimpangan sosial-ekonomi yang masih membayangi kemajuan sektor wisata di Pulau Dewata.
Kesejahteraan Belum Pulih Pasca Pandemi
Meski industri pariwisata Bali telah bangkit secara signifikan sejak 2023, para pekerja menilai pemulihan ekonomi belum merata dirasakan, terutama oleh mereka yang berada di sektor operasional.
“Kami bekerja penuh waktu, kadang lebih dari 10 jam sehari, tapi gaji kami tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup. Bahkan tunjangan tetap tidak kembali seperti sebelum pandemi,” ujar Komang Sudiartha, staf hotel bintang tiga di Legian yang ikut dalam aksi tersebut.
Menurut data yang dibawa oleh perwakilan serikat pekerja, lebih dari 60% pekerja sektor pariwisata di Bali masih menerima gaji di bawah Rp3 juta per bulan, sementara biaya hidup di kawasan pariwisata terus meningkat.
Tuntutan dan Aspirasi Pekerja
Adapun tuntutan utama yang disuarakan dalam aksi ini mencakup:
Revisi Upah Minimum Sektoral Pariwisata berdasarkan standar hidup layak di kawasan wisata premium seperti Kuta, Seminyak, dan Nusa Dua.
- Jaminan kerja tetap dan kontrak yang adil bagi pekerja musiman.
- Transparansi tip dan bonus dari manajemen hotel dan restoran.
- Akses jaminan kesehatan dan pensiun BPJS yang aktif dan tepat waktu.
“Kami bukan hanya wajah keramahan Bali, tapi juga tulang punggung ekonomi lokal. Jangan hanya investor dan pemilik modal yang diberi perhatian,” ujar Ni Luh Darmi, waitress yang telah bekerja 12 tahun di sebuah restoran internasional di Kuta.
Respons Pemerintah dan Asosiasi
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali, I Ketut Arimbawa, menyambut baik aspirasi yang disampaikan para pekerja. Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa pemerintah daerah akan segera membentuk tim mediasi antara pekerja, asosiasi pengusaha hotel, dan pemerintah.
“Kami mengakui perlunya revisi kebijakan upah sektoral yang lebih adil dan progresif. Kita juga akan mengevaluasi perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi standar perlindungan tenaga kerja,” ujarnya kepada wartawan.
Namun, dari sisi pelaku usaha, tidak semua menyambut positif tuntutan tersebut. Beberapa pemilik hotel dan villa menyatakan bahwa mereka masih dalam masa “pemulihan keuangan” dan belum mampu menaikkan beban operasional secara signifikan.
Ketimpangan Ekonomi di Balik Sektor Emas
Pariwisata menyumbang lebih dari 50% PDRB Bali, namun berdasarkan riset dari Universitas Udayana tahun 2025, hanya sekitar 20% pendapatan sektor tersebut yang langsung mengalir ke tenaga kerja lokal. Sisanya terserap ke pemilik usaha besar, manajemen asing, dan operator digital luar daerah.
“Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan sistemik yang perlu ditangani dengan kebijakan konkret,” ujar Dr. Luh Ketut Aryani, ekonom pariwisata dan dosen Udayana.
Harapan akan Perubahan Menuju Pariwisata Berkeadilan
Aksi damai di Kuta menjadi simbol kebangkitan kesadaran pekerja sektor pariwisata untuk memperjuangkan hak-hak dasar mereka. Masyarakat lokal berharap momentum ini tidak hanya berakhir pada wacana, tapi juga diwujudkan dalam regulasi baru dan aksi nyata.
“Kita cinta Bali, kita cinta pekerjaan ini. Tapi jangan abaikan kami hanya karena kami terlihat selalu tersenyum di hadapan tamu,” ujar Komang sebelum massa membubarkan diri dengan tertib.
Pemerintah Bali berjanji akan mengundang dialog terbuka antara pekerja, asosiasi pariwisata, dan pengambil kebijakan untuk membahas masa depan industri pariwisata yang tidak hanya ramah wisatawan, tapi juga ramah terhadap para pelakunya.
Baca: Penurunan Kualitas Pantai Kuta Sampah Laut dan Tekanan Pariwisata