Pemerintah Indonesia bersama Kantor Imigrasi memperketat pengawasan paspor di kawasan wisata populer, termasuk Kuta, Bali. Langkah ini dilakukan menyusul meningkatnya kasus pelanggaran izin tinggal, penyalahgunaan visa, serta praktik ilegal yang melibatkan wisatawan asing. Kebijakan baru tersebut dipandang sebagai upaya serius menjaga ketertiban, citra pariwisata, sekaligus memastikan keamanan bagi turis maupun masyarakat lokal.
Pengetatan pemeriksaan paspor di Kuta dipicu oleh maraknya temuan wisatawan asing yang bekerja tanpa izin resmi, melakukan aktivitas tidak sesuai visa, hingga terlibat dalam tindak kriminal. Data Kantor Imigrasi Ngurah Rai mencatat dalam enam bulan terakhir setidaknya puluhan WNA dideportasi akibat melanggar aturan. Situasi ini mendorong aparat meningkatkan patroli sekaligus melakukan pemeriksaan identitas lebih intensif.
Bali, sebagai pintu masuk utama wisatawan mancanegara, menjadi prioritas utama dalam penegakan aturan. Kawasan Kuta, Seminyak, Ubud, hingga Canggu kini masuk dalam radar pengawasan rutin. Petugas imigrasi turun langsung bersama aparat kepolisian dan pecalang desa adat untuk memeriksa kelengkapan dokumen, termasuk paspor dan izin tinggal, terutama di area hiburan malam dan pusat keramaian turis.
Kepala Kantor Imigrasi Ngurah Rai menegaskan bahwa pengetatan ini bukan untuk membatasi kunjungan wisatawan, melainkan menjaga agar pariwisata Bali tetap sehat dan berkelanjutan. Menurutnya, kehadiran turis sangat penting bagi ekonomi lokal, namun harus diiringi kepatuhan terhadap hukum dan aturan yang berlaku. Pihaknya juga menyebut pengetatan ini sebagai bentuk perlindungan terhadap turis patuh.
Langkah ini disambut beragam reaksi dari pelaku pariwisata. Sebagian pemilik usaha mendukung karena dapat mengurangi potensi masalah yang merusak citra Bali. Namun ada pula yang khawatir pengetatan berlebihan bisa menimbulkan kesan tidak ramah bagi turis asing. Pemerintah daerah memastikan penerapan aturan tetap mengedepankan pendekatan humanis, tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengunjung.
Selain Bali, beberapa destinasi wisata lain seperti Lombok, Yogyakarta, dan Labuan Bajo juga menerapkan kebijakan serupa. Imigrasi daerah setempat melakukan inspeksi rutin di hotel, villa, dan lokasi kerja wisatawan asing. Tujuannya untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan izin tinggal dan mencegah praktik ilegal, termasuk bekerja tanpa dokumen resmi atau aktivitas bisnis tanpa izin.
Meningkatnya tren digital nomad turut menjadi perhatian utama. Banyak turis datang dengan visa kunjungan, namun kemudian bekerja secara daring di Indonesia tanpa izin yang sesuai. Pemerintah menilai fenomena ini perlu diatur agar tidak menimbulkan persaingan tidak sehat dengan tenaga kerja lokal, sekaligus memastikan pajak dan aturan hukum tetap dijalankan.
Sosialisasi mengenai aturan keimigrasian kini gencar dilakukan, baik melalui media sosial, brosur di bandara, hingga kolaborasi dengan komunitas ekspatriat. Wisatawan diimbau memahami perbedaan jenis visa, masa berlaku paspor, serta kewajiban melaporkan keberadaan diri jika tinggal dalam waktu lama. Kesadaran ini diharapkan mengurangi kasus pelanggaran yang berujung deportasi.
Pemeriksaan paspor yang lebih ketat juga menjadi sinyal bahwa Indonesia ingin menata pariwisata ke arah lebih berkelanjutan. Selain soal keamanan, kebijakan ini berkaitan dengan menjaga integritas kawasan wisata dari potensi kejahatan transnasional seperti narkoba, perdagangan manusia, atau penipuan daring. Bali sebagai etalase pariwisata nasional dituntut mampu memberi contoh disiplin aturan.
Secara umum, kebijakan pengetatan paspor di Kuta dan destinasi turis lain menunjukkan keseriusan pemerintah menyeimbangkan kebutuhan wisata dengan penegakan hukum. Walau menuai pro dan kontra, langkah ini diyakini memberi manfaat jangka panjang bagi pariwisata Indonesia. Dengan penerapan yang konsisten dan humanis, diharapkan Indonesia tetap menjadi tujuan utama wisata dunia yang aman, tertib, dan berdaya saing tinggi.