Bali, 7 Agustus 2025 — Pemerintah Provinsi Bali menggulirkan langkah tegas dalam menjaga tata ruang dan kelestarian lingkungan dengan melaksanakan penertiban besar-besaran terhadap bisnis ilegal di kawasan tebing Pantai Bingin, Desa Pecatu, Kabupaten Badung. Sebanyak 48 unit usaha berupa vila, restoran, homestay, hingga warung makan dibongkar secara bertahap karena dianggap melanggar aturan zona hijau dan tidak memiliki izin resmi.
Kebijakan ini menjadi sorotan publik nasional bahkan internasional, terutama karena Pantai Bingin merupakan salah satu destinasi favorit wisatawan lokal maupun mancanegara, khususnya para peselancar. Namun, di balik upaya penataan tersebut, muncul dilema sosial dan ekonomi yang menyentuh denyut nadi masyarakat lokal.
Akar Masalah: Bisnis Ilegal di Zona Hijau Dilindungi
Penertiban ini tidak muncul secara tiba-tiba. Prosesnya telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir, menyusul temuan bahwa puluhan bangunan komersial berdiri tanpa izin di atas lahan milik pemerintah dan kawasan lindung. Laporan dari DPRD Bali dan Dinas PUPR menyebut bahwa bangunan-bangunan tersebut melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali (RTRWP) karena berdiri di tebing rawan longsor serta kawasan konservasi yang seharusnya tidak dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi intensif.
Setelah melalui audit administratif, Satpol PP bersama aparat pemerintah mulai melayangkan surat peringatan pada Juni 2025. Karena tidak diindahkan, akhirnya pada 21 Juli 2025, dilakukan eksekusi penertiban yang dikawal aparat keamanan dan tim teknis dari Dinas Pekerjaan Umum.
Dampak Sosial: Puluhan Karyawan Terancam Kehilangan Pekerjaan
Langkah ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, pemerintah menegaskan pentingnya menegakkan aturan dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, di sisi lain, pelaku usaha dan masyarakat lokal yang bekerja di sektor tersebut merasa dihantam gelombang ketidakpastian.
Beberapa bangunan yang dibongkar telah beroperasi selama lebih dari 10 tahun dan menjadi sumber penghidupan bagi ratusan warga. “Saya bekerja di sini sejak lulus SMA, sekarang harus mulai dari nol,” kata Kadek, seorang pekerja dapur di salah satu vila yang dibongkar.
Untuk merespons kondisi ini, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Badung membuka posko siaga PHK di Desa Pecatu. Tujuannya untuk mendata para pekerja terdampak dan memberikan pelatihan kerja baru agar mereka bisa dialihkan ke sektor lain, terutama sektor pariwisata formal yang taat aturan.
Komunitas Lokal: Takut Kehilangan Jiwa Bingin
Komunitas lokal dan beberapa tokoh masyarakat mengaku khawatir bahwa penertiban ini akan menghapus “jiwa” dari Bingin. Selama puluhan tahun, kawasan ini tumbuh secara organik bersama masyarakat lokal dan para pelaku usaha kecil yang menyambut turis dengan keramahan khas Bali.
“Pantai Bingin itu unik karena tumbuh dari bawah, dari warga. Bukan dari investor besar. Kami takut setelah ini tanah-tanah dibeli korporasi dan dibangun hotel raksasa,” ujar Made Arya, salah satu tokoh adat di Pecatu.
Beberapa wisatawan mancanegara juga menyatakan kekecewaannya. “Saya datang ke Bingin bukan karena mewahnya, tapi karena atmosfernya yang alami dan intim. Sekarang semuanya hilang,” kata Thomas, wisatawan asal Australia, yang menyaksikan salah satu vila favoritnya diratakan.
Pemerintah: Ini Bukan Untuk Investor, Tapi Penyelamatan Lingkungan
Pemerintah Provinsi Bali, melalui Gubernur Wayan Koster dan Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta, menegaskan bahwa penertiban ini bukan untuk membuka jalan bagi investor besar. “Kami tidak akan mengganti 48 bangunan ilegal dengan resort mewah. Justru ini adalah langkah untuk mengembalikan fungsi kawasan sebagaimana mestinya — konservasi, bukan komersialisasi,” tegas Koster dalam konferensi pers di Denpasar.
Pihak Pemprov juga menyatakan akan menata ulang kawasan Pantai Bingin dengan prinsip berkelanjutan dan berbasis komunitas. Artinya, masyarakat lokal akan dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ke depan, termasuk dalam skema desa wisata berbasis budaya.
Rencana Lanjutan: Penataan Kawasan Wisata Berbasis Hukum dan Adat
Ke depan, kawasan Bingin dan sekitarnya akan menjadi model baru penataan wisata Bali yang berpihak pada kelestarian alam dan budaya lokal. Pemerintah daerah sedang menyusun rancangan Peraturan Daerah (Perda) baru yang akan mengatur izin usaha secara ketat dan melibatkan peran desa adat dalam sistem pengawasan.
Selain itu, kawasan tebing yang telah dibersihkan dari bangunan ilegal akan dikembalikan sebagai zona hijau terbuka, dan digunakan untuk kegiatan sosial-budaya masyarakat, termasuk edukasi lingkungan.
Penutup: Bingin, Antara Penataan dan Harapan
Kasus penertiban bisnis ilegal di Pantai Bingin menjadi cerminan kompleksitas antara hukum, ekonomi, dan sosial budaya. Di satu sisi, penegakan hukum atas zona konservasi adalah keharusan demi keberlanjutan Bali sebagai pulau pariwisata dunia. Namun, pendekatannya perlu mengedepankan keadilan sosial dan tidak hanya mengandalkan solusi struktural.
Kini masyarakat Bali dan Indonesia menanti: apakah setelah deretan bangunan itu dibongkar, akan tumbuh kembali Bingin yang lebih tertata, adil, dan lestari — atau justru menjadi awal dari komersialisasi besar yang menghapus jejak kearifan lokal.