Kuta, Bali — Jika Bali dikenal sebagai jantung pariwisata Indonesia, maka Kuta adalah detaknya. Wilayah pesisir yang dikenal dengan pantai ikonik dan sunset menawan ini kembali menjadi sorotan dengan rangkaian festival budaya dan hiburan malam yang digelar sepanjang Agustus hingga akhir tahun 2025. Perpaduan antara kesenian tradisional, musik kontemporer, dan kehidupan malam yang semarak menjadi daya tarik kuat, tidak hanya bagi wisatawan mancanegara, tetapi juga generasi muda lokal.
Panggung Budaya di Tengah Hiruk Pikuk Kuta
Festival bertajuk “Kuta Cultural Harmony 2025” resmi dibuka pada 1 Agustus lalu, menampilkan tari-tarian Bali klasik seperti Pendet, Barong, hingga Legong Kraton, yang dipentaskan di ruang terbuka sepanjang Pantai Kuta dan area Pura Batu Bolong. Uniknya, para penari tidak hanya berasal dari sanggar-sanggar seni lokal, tapi juga diikuti oleh siswa-siswi sekolah pariwisata dan seniman muda dari luar Bali.
“Festival ini bukan hanya hiburan, tapi bentuk pelestarian warisan budaya Bali,” ujar Made Surya, ketua panitia festival. “Kami ingin mengingatkan bahwa di tengah modernitas, identitas budaya harus tetap menjadi poros.”
Tak hanya tari dan musik tradisional, area festival juga menghadirkan workshop membuat canang sari, kuliner tradisional Bali, serta parade ogoh-ogoh mini yang menjadi atraksi unik bagi wisatawan asing.
Panggung Musik, DJ, dan Kreativitas Malam Hari
Pada malam hari, festival berubah rupa menjadi pusat hiburan modern dengan hadirnya “Sunset Soundstage” — panggung terbuka yang menampilkan musisi lokal hingga internasional. Tahun ini, line-up dimeriahkan oleh band indie seperti Navicula, Nosstress, hingga penampilan spesial dari DJ internasional asal Belanda dan Jepang yang tampil di beberapa beach club ternama.
Panggung musik ini dikombinasikan dengan visual mapping art di sepanjang tebing pantai, menciptakan suasana artistik yang memikat. Seluruh pertunjukan dikoordinasi agar tetap memperhatikan nilai adat dan norma lokal.
“Kami tidak ingin hiburan malam di Bali kehilangan arah. Harus tetap selaras dengan budaya lokal dan tidak merusak nilai spiritual yang ada,” ujar Ni Made Ayu, perwakilan komunitas adat Kuta yang ikut mengawal festival ini.
Dampak Positif bagi UMKM dan Ekonomi Lokal
Lebih dari sekadar pertunjukan, festival ini menjadi penggerak roda ekonomi masyarakat. Pelaku UMKM kuliner, kerajinan tangan, hingga jasa transportasi mendapat limpahan rezeki dari lonjakan pengunjung.
Menurut data sementara dari Dinas Pariwisata Badung, selama dua minggu pertama festival berlangsung, kunjungan wisatawan domestik naik 18%, dan mancanegara mencapai 12%, dibandingkan bulan sebelumnya.
“Kami jualan kerajinan dari tempurung kelapa dan perak lokal. Biasanya sepi, tapi sekarang banyak bule yang beli buat oleh-oleh,” kata Gusti Made Ariani, pemilik stan di area bazar Kuta Festival.
Harmoni Tradisi dan Modernitas
Festival ini juga menjadi ruang untuk dialog lintas budaya. Di beberapa sesi diskusi publik yang diadakan oleh komunitas seniman muda, tema yang diangkat termasuk: “Masa Depan Adat dalam Lanskap Pariwisata” dan “Membangun Pariwisata Inklusif dan Berkelanjutan.”
Diskusi-diskusi ini penting untuk menciptakan kesadaran bahwa Kuta bukan sekadar tempat pesta malam, melainkan juga rumah bagi ribuan masyarakat lokal yang hidup dengan adat istiadat kuat.
Pengawasan Ketat & Etika Wisatawan
Pemerintah daerah bersama Satpol PP juga turut mengawal jalannya festival. Beberapa titik hiburan malam dipantau agar tidak melanggar jam operasional dan tidak menimbulkan kebisingan berlebihan.
Selain itu, poster edukasi “Berpesta dengan Etika” disebar di berbagai sudut Kuta sebagai upaya untuk mengingatkan wisatawan tentang larangan penggunaan narkotika, menghormati pura dan upacara adat, serta berpakaian sopan di tempat umum.
Harapan untuk Festival yang Lebih Besar
Melihat antusiasme yang tinggi, pemerintah Provinsi Bali dan pelaku industri kreatif merencanakan festival ini sebagai agenda tahunan resmi dengan dukungan internasional.
“Kami ingin menjadikan Kuta sebagai panggung dunia, tapi tetap dengan ruh Bali yang asli. Hiburan boleh berkembang, tapi akar budaya jangan tercerabut,” tegas I Gusti Ngurah Adi Wijaya, Kepala Dinas Kebudayaan Bali.
Dengan semangat menjaga keseimbangan antara kemajuan pariwisata dan pelestarian budaya, Festival Budaya dan Hiburan Malam Kuta 2025 telah membuktikan bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan berdampingan, memberikan pengalaman otentik sekaligus menyenangkan bagi siapa pun yang datang ke Pulau Dewata.
Baca: Protes Pekerja Pariwisata di Kuta Tuntutan Kesejahteraan