Bali, Agustus 2025 – Pulau Dewata kembali menjadi sorotan. Bukan karena keindahan pantainya, melainkan akibat konflik agraria yang kian sering mencuat. Di balik geliat industri pariwisata yang terus tumbuh, terdapat benih konflik yang mengakar: sengketa lahan antara masyarakat adat dan pengembang bali, serta ketegangan sosial di komunitas lokal akibat pembangunan resort dan villa mewah.
Konflik lahan kini bukan sekadar soal batas tanah, tetapi juga menyangkut identitas, hak adat, dan kelangsungan hidup masyarakat lokal. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kasus di Ubud, Canggu, Nusa Penida, hingga Tabanan menjadi bukti nyata bahwa pembangunan yang tidak inklusif bisa memicu perpecahan sosial.
Villa Mewah, Akses Pantai Ditutup
Salah satu konflik paling menonjol tahun ini terjadi di Pantai Nyang Nyang, Uluwatu. Sebuah perusahaan properti asing mengembangkan resort eksklusif dan menutup akses jalan yang selama ini digunakan warga lokal untuk ke pantai. Warga adat Pecatu menggelar aksi damai menolak pembangunan tersebut.
“Pantai itu bukan hanya tempat wisata, tapi bagian dari hidup kami. Dulu tempat kami upacara, sekarang kami harus bayar kalau mau masuk,” ujar Kadek Wiratma, tokoh masyarakat setempat.
Penutupan akses publik oleh pengembang yang memegang HGB (Hak Guna Bangunan) menjadi pemicu konflik di berbagai wilayah Bali selatan, di mana tanah adat dijual oleh pihak ketiga tanpa musyawarah yang sah dengan krama desa.
Ketidakjelasan Status Tanah Adat
Masalah utama yang kerap muncul adalah perbedaan tafsir antara status tanah adat (tanah ayahan desa) dan status hukum negara. Banyak masyarakat adat merasa hak mereka diabaikan saat pengembang datang dengan dokumen legal dari Jakarta.
Di Desa Kedungu, Tabanan, konflik pecah antara warga dan pengembang properti asing yang mengklaim membeli tanah sawah untuk dijadikan vila. Padahal, lahan tersebut menurut warga adalah subak, sistem irigasi warisan budaya dunia yang diatur oleh komunitas petani.
“Mereka bawa surat dari notaris, tapi kami punya puri, punya sejarah, dan punya kesepakatan adat,” kata I Gusti Ngurah Raka, petani lokal yang menolak menjual tanahnya.
Ketimpangan Sosial Akibat Pembangunan Elit
Pertumbuhan proyek properti mewah seperti beach club, glamping, hingga eco-resort menyebabkan lonjakan harga tanah dan biaya hidup. Warga lokal mulai terpinggirkan secara ekonomi, tidak mampu lagi tinggal di tanah kelahiran mereka sendiri.
Di Nusa Penida, pembangunan resort elit menyebabkan nelayan harus pindah ke desa lain karena area penangkapan dibatasi. Mereka kehilangan mata pencaharian tanpa kompensasi memadai.
“Kami tidak anti pariwisata. Tapi harusnya ada keadilan. Jangan kami yang harus pergi, padahal ini tanah leluhur kami,” ucap Komang Suarta, nelayan di Desa Sakti.
Upaya Mediasi Belum Maksimal
Pemerintah daerah kerap menjadi penengah dalam konflik, namun hasilnya tidak selalu memuaskan. Banyak mediasi yang berujung buntu karena ada tekanan dari investor besar yang membawa backing politik dan hukum.
Dinas Pertanahan Provinsi Bali mengakui bahwa proses peralihan hak tanah seringkali terjadi tanpa pelibatan desa adat. Oleh karena itu, Gubernur Bali 2025 mengusulkan pembentukan Tim Advokasi Adat & Lingkungan, guna melindungi hak-hak masyarakat Bali dari eksploitasi ekonomi.
Suara Komunitas: Menjaga Ruang Hidup & Budaya
Gerakan komunitas sipil seperti WALHI Bali, Yayasan IDEP, dan ForBALI ikut menyuarakan perlawanan terhadap perampasan lahan. Mereka menuntut evaluasi izin proyek-proyek besar yang merusak ruang hidup dan menimbulkan konflik horizontal antarwarga.
Beberapa desa kini mulai menolak menjual tanah kepada investor, dan mengembangkan desa wisata berbasis komunitas sebagai alternatif pembangunan yang berkelanjutan.
“Kalau Bali dijual semua, yang tersisa hanya cerita. Kami ingin pariwisata yang adil, yang memberi manfaat bukan hanya untuk investor, tapi juga untuk generasi kami nanti,” kata Ni Made Suci, penggiat desa wisata di Buleleng.
Refleksi: Bali di Persimpangan
Konflik lahan di Bali bukan hanya persoalan fisik. Ini adalah refleksi dari ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan sosial budaya. Jika tidak ditangani dengan bijak, konflik ini bisa menjadi bom waktu yang mengancam kohesi sosial dan identitas Bali sendiri.
Pemerintah, masyarakat adat, pengembang, dan pelaku pariwisata harus duduk bersama, menyusun ulang arah pembangunan Bali yang berkeadilan dan berkelanjutan. Karena Pulau Dewata sejatinya bukan milik segelintir orang, melainkan rumah bersama yang diwariskan untuk dijaga.
Baca: Isu Sosial Kemiskinan Terselubung di Balik Gemerlap Wisata Bali