Denpasar, Agustus 2025 — Pulau Bali, surga wisata dunia yang dikenal dengan keindahan alam dan keluhuran budayanya, kembali diguncang dengan sejumlah kasus turis asing yang melanggar norma adat dan nilai-nilai kesucian spiritual masyarakat Bali. Tidak tanggung-tanggung, sepanjang semester pertama tahun 2025 ini, Kantor Imigrasi Bali telah mendeportasi lebih dari 130 WNA karena perilaku yang tidak menghormati adat istiadat lokal, termasuk berpakaian tidak sopan di tempat suci, menginjak pelinggih pura, hingga membuat konten provokatif demi viralitas di media sosial.
Kasus Terbaru: Meditasi Pura Palsu di Karangasem
Kasus yang menyedot perhatian terjadi pada akhir Juli lalu, ketika seorang WNA asal Rusia terekam bermeditasi di atas pelinggih (altar suci) di sebuah pura di Karangasem. Video tersebut viral di TikTok dan Instagram, memicu kemarahan warga serta organisasi adat bali setempat. WNA berinisial I.S. itu akhirnya diamankan pihak kepolisian dan diserahkan ke Imigrasi untuk proses deportasi.
“Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi pelecehan terhadap keyakinan dan kesucian umat Hindu Bali. Kami tidak bisa toleransi,” ujar I Wayan Parwata, Ketua Pecalang Karangasem.
Banyak Turis Lupa: Bali Bukan Sekadar Destinasi Wisata
Pelanggaran norma adat tidak hanya terjadi di Karangasem. Di Canggu, seorang influencer asal Eropa sempat berpose setengah telanjang di tengah areal pemujaan milik warga. Sementara di Uluwatu, turis asal Australia dilaporkan berjalan tanpa pakaian di tengah upacara Ngaben, bahkan sempat menertawai prosesi tersebut.
Pemerintah Bali pun gerak cepat. Satpol PP bersama Desa Adat dan Imigrasi kini memperkuat Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) di titik-titik rawan pelanggaran budaya.
“Kami tidak anti turis, tapi semua pengunjung harus tahu: Bali punya jiwa, bukan hanya panorama,” tegas Bupati Badung I Nyoman Sutrisna.
Deportasi Bukan Tujuan Utama, Tapi Langkah Terakhir
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Bali, Anggiat Napitupulu, menyampaikan bahwa deportasi hanya dilakukan setelah melalui beberapa tahap, termasuk klarifikasi, penyelidikan, dan pembinaan. Namun, jika WNA tetap bersikeras atau dianggap mengganggu ketertiban umum dan merusak nilai adat, maka tidak ada pilihan lain.
“Sudah ada lebih dari 130 turis dideportasi sepanjang 2025, sebagian besar karena tidak memahami batasan budaya,” jelas Anggiat dalam konferensi pers di Denpasar.
Kampanye Etika Wisata: Panduan Baru Bagi Turis Asing
Sebagai solusi preventif, Dinas Pariwisata Provinsi Bali resmi meluncurkan “Panduan Etika Wisatawan di Bali” yang disebarkan melalui brosur, digital signage, dan website travel populer. Panduan ini tersedia dalam 6 bahasa dan menjelaskan larangan serta kewajiban wisatawan di area suci, seperti:
- Larangan masuk pura saat haid.
- Wajib berpakaian sopan saat berada di kawasan adat.
- Dilarang memanjat pelinggih atau batu karang sakral.
Peran Komunitas Adat: Sinergi Modern dan Tradisi
Masyarakat adat Bali melalui Desa Adat dan Pecalang kini semakin aktif dalam mengawasi perilaku wisatawan. Bahkan beberapa desa wisata sudah menerapkan kode etik lokal, di mana pelanggaran bisa dikenai sanksi adat selain tindakan hukum formal.
“Kami ingin menjaga citra Bali sebagai pulau spiritual, bukan sekadar tempat pesta,” kata Made Arimbawa, Bendesa Adat di kawasan Ubud.
Menjaga Harmoni Bali untuk Generasi Mendatang
Pemerintah Provinsi Bali menegaskan bahwa semua langkah ini bukan untuk mengekang wisatawan, tetapi untuk menjaga keharmonisan antara tamu dan tuan rumah. Bali dibangun atas semangat Tri Hita Karana — keharmonisan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Dan itu tak bisa dikompromikan, meski atas nama pariwisata.